Nurul Utami
25216639
Aspek Hukum Dalam Ekonomi# / IT-022209
1. Hukum Perdata
a. Pengertian
Hukum Perdata
Hukum perdata merupakan hukum atau ketentuan yang mengatur
kewajiban, hak-hak, dan kepentingan antar individu dalam masyarakat yang
bersifat privat (tertutup). Hukum perdata biasa disebut dengan hukum privat. Hukum perdata fungsinya untuk menangani kasus yang bersifat
privat atau pribadi. Contohnya seperti hukum tentang warisan, hukum
tentang perceraian, hukum tentang
pencemaran nama baik dan hukum perikatan. Hukum perdata memiliki tujuannya adalah untuk menyelesaikan
konflik atau masalah yang terjadi diantara kedua belah pihak. Hukum
perdata terjadi ketika seseorang mendapatkan suatu kasus yang bersifat privat
(tertutup). Hukum perdata terjadi bila ketika suatu pihak melaporkan
pihak lain yang terkait ke pihak yang berwajib atas suatu kasus yang hanya
menyangkut kedua individu tersebut.
b. Tujuan
Hukum Perdata
Tujuan Hukum
perdata adalah memberikan perlindungan hukum untuk mencegah tindakan main hakim
sendiri dan untuk menciptakan suasana yang tertib. Atau dengan kata lain tujuan
hukum perdata adalah untuk mencapai suasan yang tertib hukum dimana seseorang mempertahankan
haknya melalui badan peradilan sehingga tidak terjadi tindakan sewenang-wenang.
Hukum perdata
memiliki sifat yang memaksa dan mengatur. Dalam pengertian ini, disebut memaksa
karena jika terjadi suatu proses acar perdata dipengadilan maka ketentuan tidak
dapat dilanggar melainkan harus ditaati oleh para pihak (kalau tidak ditaati
berakibat merugikan bagi pihak yang berperkara). Sedangkan bersifat mengatur, maksudnya
semua tindakan dan perbuatan diatur didalam hukum, termasuk mengenai
sanksi-sanksinya, dan dijadikan sebagai alat untuk menundukkan masyarakat.
c. Fungsi
Hukum Perdata
Fungsi Hukum Acara
Perdata yaitu, Memberikan perlindungan hukum dalam kegiatan keperdataan dan
memberikan kepastian hukum dalam keperdataan. Contohnya : Adhitia memiliki sebuah mobil,
kemudian di suatu malam, mobil tersebut dicuri oleh Rienaldy, sehingga jelas di mata
hukum perdata bahwa Adhitia adalah korban, sedangkan Rienaldy adalah tersangka, dan Rienaldy pun diberikan hukuman.
Sehingga jelas dapat dikatakan hukum perdata itu memberikan kepastian hukum.
2. Hukum Perikatan
a. Pengertian
Hukum Perikatan
Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari
suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari
rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum
harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga
(family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang
hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian
perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang
atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian
mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan
hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana
pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu
prestasi.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat
sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk
berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak
melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk
tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah
disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan
bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah
perjanjian agar memotong rambut tidak sampai botak.
b. Tujuan
Hukum Perikatan
Tujuan
hukum perikatan adalah untuk melindungi antara kedua belah pihak agar perikatan
yang dilakukan sesuai dengan undang-undang kesusilaan, dan tata aturan umum
yang berlaku agar tidak terjadi penipuan didalam kegiatan kerja sama tersebut. Apabila
salah satu pihak ingkar dari ketetapan yang telah ditentukan, maka dengan
dibuatnya hukum perikatan pihak yang dirugikan dapat melaporkannya kepada pihak
yang berwajib atas itu.
c. Fungsi
Hukum Perikatan
Di
dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan
sistem terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber
pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan
undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak,
dengan syarat kebebasan berkontrak harushalal, dan tidak melanggar hukum,
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
3. Hukum Perjanjian
a. Pengertian Hukum Perjanjian
Dalam
hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda), contract /agreement
(bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita
dikenal sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa
istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang sama, sehingga tidak
mengherankan apabila istilah tersebut digunakan secara bergantian untuk
menyebut sesuatu konstruksi hukum. Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita
jumpai di dalam KUHP, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula
pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab
undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian
dari istilah tersebut tidak diberikan. Pada pasal 1313 KUHP merumuskan
pengertian perjanjian, adalah : suatu perbuatan satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Namun
para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian
perjanjian, Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan
bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas
dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian
yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk
didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian
disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan
hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang
hukum perdata.
b. Tujuan Hukum Perjanjian
Tujuan perjanjian layaknya membuat undang-undang,
yaitu mengatur hubungan hukum dan melahirkan seperangkat hak dan kewajiban.
Bedanya, undang-undang mengatur masyarakat secara umum, sedangkan perjanjian
hanya mengikat pihak-pihak yang memberikan kesepakatannya. Karena setiap orang
dianggap melek hukum, maka terhadap semua undang-undang masyarakat telah
dianggap mengetahuinya, sehingga bagi mereka yang melanggar, siapapun, tak ada
alasan untuk lepas dari hukuman.
Demikian
pula perjanjian, bertujuan mengatur hubungan-hubungan hukum namun sifatnya
privat, yaitu hanya para pihak yang menandatangani perjanjian itu saja yang
terikat. Jika dalam pelaksanaannya menimbulkan sengketa, perjanjian itu dapat
dihadirkan sebagai alat bukti di pengadilan guna menyelesaikan sengketa.
Perjanjian membuktikan bahwa hubungan hukum para pihak merupakan sebuah fakta
hukum, yang dengan fakta itu kesalahpahaman dalam sengketa dapat diluruskan,
bagaimana seharusnya hubungan itu dilaksanakan dan siapa yang melanggar.
c. Fungsi Hukum Perjanjian
Fungsi perjanjian dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi yurudis dan fungsi ekonomis. Fungsi
yurudis perjanjian adalah dapat memberikan kepastian hukum para pihak,
sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari
nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi. Biaya dalam
Pembuatan Perjanjian Biaya penelitian, meliputi biaya penentuan hak milik yang
mana yang diinginkan dan biaya penentuan bernegosiasi, Biaya negosiasi,
meliputi biaya persiapan, biaya penulisan kontrak, dan biaya tawar-menawar
dalam uraian yang rinci, Biaya monitoring, yaitu biaya penyelidikan tentang
objek, Biaya pelaksanaan, meliputi biaya persidnagan dan arbitrase, Biaya
kekliruan hukum, yang merupakan biaya sosial.
4. Contoh Kasus
a. Contoh Kasus Hukum Perdata
Kasus Temasek
Keputusan
KKPU atas kepemilikan silang (cross ownership) Temasek Holding (TH) masih
menjadi berita hangat. Keputusan yang menimbulkan kontroversi itu tampaknya
akan berbuntut panjang dengan upaya Temasek memperkarakan keputusan KPPU
tersebut pada semua forum hukum yang tersedia dengan alasan pertimbangan yang mendasari
keputusan itu memiliki banyak kelemahan. Bila dicermati, berbagai kelemahan
pertimbangan yang dikemukakan Temasek tampaknya tidak beralasan. Sebagai
contoh, pernyataan Direktur Eksekutif Temasek Simon Peres yang menyatakan perusahaan
itu tidak memiliki saham di Telkomsel dan Indosat. Pernyataan itu sepintas lalu
ada benarnya. Ini karena secara langsung Temasek tidak memiliki saham pada
kedua operator seluler itu. Namun, lewat Singtel dan STT yang notabene merupakan
anak-anak perusahaannya. Temasek mengantongi saham Telkomsel maupun Indosat
masing masing sebesar 35 persen dan 41,9 persen. Dengan demikian, amat aneh
bila Temasek beranggapan tidak memiliki saham di Telkomsel dan Indosat.
Kepemilikan saham pada satu atau beberapa perusahaan yang bisnisnya sejenis
atau tidak lewat anak-anak perusahaan merupakan hal yang lazim dan secara
yuridis tidak terlarang dalam berbisnis, baik secara nasional maupun
multinasional. Yang dilarang apabila kepemilikan saham pada suatu perusahaan,
baik secara langsung maupun lewat anak perusahaannya, menimbulkan penguasaan
pasar pada satu jenis barang atau jasa tertentu secara dominan sebagaimana
diatur diPasal 27 UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
b. Contoh Kasus Hukum Perikatan
Pada
permulaan PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP) dibuka dan disewakan untuk
pertokoan, pihak pengelola merasa kesulitan untuk memasarkannya. Salah satu cara untuk memasarkannya adalah
secara persuasif mengajak para pedagang meramaikan komplek pertokoan di pusat
kota Surabaya itu. Salah seorang
diantara pedagang yang menerima ajakan PT surabaya Delta Plaza adalah Tarmin
Kusno, yang tinggal di Sunter-Jakarta.
Tarmin
memanfaatkan ruangan seluas 888,71 M2 Lantai III itu untuk menjual perabotan
rumah tangga dengan nama Combi Furniture.
Empat bulan berlalu Tarmin menempati ruangan itu, pengelola SDP mengajak
Tarmin membuat “Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan Notaris. Dua belah pihak bersepakat mengenai
penggunaan ruangan, harga sewa, Service Charge, sanksi dan segala hal yang
bersangkut paut dengan sewa menyewa ruangan.
Tarmin bersedia membayar semua kewajibannya pada PT SDP, tiap bulan
terhitung sejak Mei 1988 s/d 30 April 1998 paling lambat pembayaran disetorkan
tanggal 10 dan denda 2 0/00 (dua permil) perhari untuk kelambatan
pembayaran. Kesepakatan antara pengelola
PT SDP dengan Tarmin dilakukan dalam Akte Notaris Stefanus Sindhunatha No. 40
Tanggal 8/8/1988.
Tetapi
perjanjian antara keduanya agaknya hanya tinggal perjanjian. Kewajiban Tarmin ternyata tidak pernah
dipenuhi, Tarmin menganggap kesepakatan itu sekedar formalitas, sehingga
tagihan demi tagihan pengelola SDP tidak pernah dipedulikannya. Bahkan menurutnya, Akte No. 40 tersebut,
tidak berlaku karena pihak SDP telah membatalkan “Gentlement agreement” dan
kesempatan yang diberikan untuk menunda pembayaran. Hanya sewa ruangan, menurut Tarmin akan
dibicarakan kembali di akhir tahun 1991.
Namun pengelola SDP berpendapat sebaliknya. Akte No. 40 tetap berlaku dan harga sewa
ruangan tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut.
Hingga
10 Maret 1991, Tarmin seharusnya membayar US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44
kepada PT SDP. Meski kian hari jumlah
uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus bertambah,
Tarmin tetap berkeras untuk tidak membayarnya.
Pengelola SDP, yang mengajak Tarmin meramaikan pertokoan itu. Pihak
pengelola SDP menutup COMBI Furniture secara paksa. Selain itu, pengelola SDP menggugat Tarmin di
Pengadilan Negeri Surabaya.
c. Contoh Kasus Hukum Perjanjian
d. Perjanjiian antara penyewara rumah dengan pemilik rumah
Untuk
mendapatkan rumah tempat berlindung, seseorang dapat menyewa rumah orang lain.
Untuk itu diawali dengan membuat perjanjian sewa-menyewa antara pihak pemilik
rumah dengan pihak penyewa. Perjanjian ini dapat dibuat secara lisan dapat pula
secara tertulis. Selanjutnya sewa-menyewa rumah itu dilaksanakan sesuai dengan
perjanjian sewa-menyewa yang telah dibuat.
Salah satu
ketentuan sewa-menyewa yang lazim dibuat adalah pihak penyewa dilarang
menyewakan ulang rumah sewa kepada pihak lain. Hal ini untuk mencegah
terjadinya kerugian pada pihak pemilik rumah disebabkan perbuatan tidak
bertanggung jawab pihak penyewa kedua, berupa perusakan rumah, penggunaan rumah
untuk praktek asusila, dan lain-lain. Tentunya, pemilik rumah berharap, rumah
yang disewakannya bermanfaat tanpa mendatangkan masalah dikemudian hari.
Pelanggaran atas hal tersebut memberi hak kepada pemilik rumah untuk meminta
kembali rumahnya dari pihak penyewa. Dengan kata lain pemilik rumah sewa berhak
untuk membatalkan perjanjian sewa-menyewa rumah yang telah dibuatnya bersama
penyewa.
Setelah
pembatalan perjanjian, pihak pemilik rumah berhak mendapatkan kembali rumahnya
tanpa harus mengembalikan biaya sewa. Akan tetapi hal ini sering kali tidak
diterima oleh pihak penyewa. Mereka menganggap dihentikannya sewa, maka membuat
mereka berhak untuk mendapatkan kembali biaya sewa yang telah diserahkan kepada
pemilik rumah, sebagaimana kasus berikut ini.
Di Villa
Bintaro Regency Nomor 12A RT 1 RW2 Kelurahan Pondok Kacang Timur, Kecamatan
Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten, penyewa rumah (selanjutnya disebut
Penyewa 1) menyewakan kembali rumah yang disewanya kepada pihak lain
(selanjutnya disebut Penyewa 2) tanpa sepengetahuan pemilik rumah. Hal ini
membuat pemilik rumah merasa dirugikan, karena dalam perjanjian yang
disepakati, rumah yang disewa tersebut akan dipakai sendiri oleh penyewa. Oleh
karena itulah pemilik rumah sewa meminta Penyewa 2 untuk mengosongkan rumah
karena dianggap tidak berhak berada di rumah itu.
Penyewa 2
yang merasa tidak bersalah, karena tidak mengetahui duduk perkara permasalahan,
tidak mau pergi dari rumah. Akhirnya setelah dijelaskan duduk perkaranya,
Penyewa 2 mau pergi dari rumah, jika uang sewa yang telah diberikannya kepada
Penyewa 1, dikembalikan lagi utuh oleh pemilik rumah. Akan tetapi pemilik rumah
tidak mau mengembalikan uang sewa, karena merasa tidak pernah menerima uang itu
dan menyatakan bahwa pihak yang harus mempertanggungjawabkan hal tersebut
adalah Penyewa 1.
Penyewa 1
sendiri mau mengembalikan biaya sewa Penyewa 2, jika pemilik rumah
mengembalikan biaya sewa yang telah diberikannya sebelumnya. Penyewa 1 merasa
bahwa pembatalan perjanjian sewa-menyewa secara sepihak oleh pemilik rumah,
membuat pemilik rumah wajib mengembalikan keadaan seperti semula dengan cara
mengembalikan uang sewa dan menganggap perjanjian sewa itu tidak pernah ada.
Menurut
saya penyewa pertama tidak mempunyai hak menyewakan rumah yang
telah dia sewa kepada penyewa kedua, karena dalam hal sewa menyewa, penyewa
pertama tidak mempunyai hak milik sepenuhnya atas rumah tersebut melainkan
hanya memiliki hak pakai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan dengan
pemilik rumah, jadi penyewa pertama tidak dapat berbuat bebas dalam arti
mengambil keputusan atas rumah tersebut.
Referensi
0 komentar:
Posting Komentar