Rabu, 02 Agustus 2017

M4 PENDAPATAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2015

KAJIAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2015

DOSEN : ANTONI, SE., MM



Disusun Oleh:
Kelas : 1EB17
Kelompok 6

1.   Nurul Utami                          25216639
2.   Ratih Rahmawati                 26216098
3.   Rifa Hana Zaimah                26216366
4.   Reza Adliansyah                 26216248
5.   Riyan Setiawan                    26216525


PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2017/2018



PENDAHULUAN

Keberhasilan pembangunan suatu daerah bisa dilihat laju pertumbuhan ekonominya. Oleh sebab itu, setiap daerah selalu menetapkan target laju pertumbuhan yang tinggi didalam perencanaan dan tujuan pembangunan daerahnya.Secara sederhana pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perubahan dari Produk Domestik Bruto (PDB) di tingkat nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di tingkat daerah dari tahun ke tahun. Suatu ekonomi dikatakan mengalami pertumbuhan yang berkembang apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa sebelumnya. Secara teoritis dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan suatu masyarakat, semakin baik tingkat kesejahteraannya.
Hal yang terpenting dalam pembangunan daerah adalah bahwa daerah tersebut mampu mengidentifikasi setiap potensi sektor-sektor potensial yang dimilikinya, kemudian menganalisisnya untuk membuat sektor-sektor tersebut memiliki nilai tambah bagi pembangunan ekonomi daerah. Perencanaan pembangunan mempunyai peranan yang sangat besar sebagai alat untuk mendorongdan mengendalikan proses pembangunan secara lebih cepat dan terarah. Realisasi tujuan pembangunan harus dilaksanakan secara tepat, komprehensif dan terintegrasimulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga otonomi yang diberikan kepada daerah akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga salah satu upaya yang dilakukan yaitu melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Jawa Timur sebagai salah satu propinsi di Indonesia yang terletak di pulau Jawa juga tidak terlepas dari masalah ketimpangan pembangunan ekonomi. Propinsi Jawa Timur yang terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota ini tentu saja memiliki berbagai persoalan yang harus diselesaikan, diantaranya adalah masalah pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan distribusi pendapatan. Aspek pemerataan pendapatan merupakan hal yang penting untuk dipantau, karena pemerataan hasil pembangunan merupakan salah satu strategi dan tujuan pembangunan nasional di Indonesia. Sehingga dalam prakteknya bagaimana proses pembangunan yang terjadi di daerah tersebut dapat dimaksimalkan dan menekan nilai ketimpangan pembangunan tesebut kearah pemerataan pembangunan ekonomi dengan memaksimalkan sektor-sektor ekonomi yang mempunyai nilai keunggulan kompetitif di setiap daerah untuk dikembangkan.

1.      Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Perekonomian Jawa Timur pada triwulan III 2015 mencatat perbaikan pertumbuhan dibanding triwulan sebelumnya. Berdasarkan tahun dasar 2010, perekonomian Jawa Timur pada triwulan III 2015 tumbuh 5,44% (yoy), meningkat dibanding triwulan II 2015 tumbuh sebesar 5,25% (yoy), serta lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi Jawa dan Nasional yang masing-masing tumbuh 5,39% (yoy) dan 4,73% (yoy). Jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada triwulan laporan berada di posisi tertinggi kedua setelah DKI Jakarta yang mencatat laju 5,96% (yoy).


Sementara itu besarnya skala ekonomi Jawa Timur juga terlihat dari pangsanya terhadap perekonomian nasional yang mencapai 14,71%, menempati posisi terbesar kedua setelah DKI Jakarta yang mendominasi 16,99% perekonomian nasional. Pangsa ekonomi Jawa Timur tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pangsa triwulan II 2015 yang mencatat angka sebesar 14,59%. Peningkatan pangsa ekonomi tersebut terutama disebabkan oleh cukup kuatnya pertumbuhan sektor Industri Pengolahan Jawa Timur dan peningkatan permintaan ekspor luar negeri di saat terjadi pelemahan di sektor tersebut secara nasional.



Dari sisi permintaan, pendorong utama peningkatan kinerja perekonomian Jawa Timur triwulan III 2015 adalah peningkatan konsumsi Pemerintah dan ekspor luar negeri, serta  penurunan impor luar negeri. Konsumsi Pemerintah tumbuh 9,00% (yoy), didorong oleh peningkatan realisasi belanja proyek infrastruktur dan belanja pegawai. Peningkatan ekspor didukung oleh perbaikan ekonomi Eropa (pertumbuhan ekonomi Euro Area meningkat dari 1,5% (yoy) menjadi 1,6% (yoy), serta dibukanya kembali main gate impor perhiasan di negara Swiss). Di sisi lain, pelemahan impor diindikasikan sejalan dengan strategi perusahaan untuk melakukan subtitusi impor ke bahan baku lokal seiring pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap USD.


Dari sisi penawaran, mayoritas sektor mengalami pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya. Kinerja sektor Industri Pengolahan, sektor Konstruksi dan sektor Penyediaan Akomodasi dan Makanan-Minuman mengalami peningkatan. Di sisi lain, kinerja sektor Perdagangan relatif stabil, sedangkan sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan cenderung melambat. Peningkatan kinerja Industri Pengolahan bersumber dari permintaan asing yang meningkat (terindikasi dari peningkatan ekspor) di tengah konsumsi domestik yang masih lemah. Sementara itu, pembangunan proyek infrastruktur dan residensial mampu menggerakkan sektor Konstruksi. Peningkatan kinerja sektor Akomodasi dan Makanan-Minuman didorong oleh meningkatnya frekuensi pertemuan, liburan sekolah dan Idul Fitri, sehingga menyebabkan okupansi hotel meningkat. Sektor Perdagangan cenderung stabil mengingat ekspor luar negeri meningkat namun di lain pihak terjadi penurunan pada kinerja perdagangan antar daerah.



]2.      Perkembangan Inflasi
Inflasi Jawa Timur pada triwulan II 2016 tercatat sebesar 2,93% ( yoy ), lebih rendah dibandingkan inflasi triwulan sebelumnya (3,71% yoy) dan terendah kedua di Kawasan Jawa setelah setelah Provinsi DIY (2,77%, yoy), serta lebih rendah dibandingkan inflasi nasional yang mencapai 3,45% (yoy). Kelompok inti merupakan penyumbang utama inflasi yaitu sebesar 2,12%, disusul oleh volatile food sebesar 1,31%, dan kelompok administered prices sebesar -0,50%. Sementara tekanan inflasi terbesar berasal dari kelompok volatile food (7,16%, yoy), disusul oleh kelompok inti (3,48%, yoy), sedangkan administered prices justru meredakan tekanan inflasi pada periode ini (-2,86%, yoy) seiring dengan adanya  koreksi tarif administered, khususnya BBM dan tarif angkutan darat dan udara. 


Tekanan inflasi kelompok volatile food didorong oleh tingginya permintaan akibat faktor seasonal Ramadhan dan Lebaran. Sementara itu, tekanan pada komoditas inti bersumber dari kenaikan biaya pendidikan seiring dengan dimulainya tahun ajaran baru, dan kenaikan upah tukang bukan mandor. Adapun tekanan dari kelompok adminitered prices bersumber dari komoditas rokok akibat kenaikan tarif cukai rokok. Meskipun demikian, tekanan yang lebih tinggi dari komoditas ini tertahan oleh koreksi harga BBM dan tarif listrik, serta turunnya tarif angkutan udara dan kereta api.

3.      Perkembangan Keuangan Daerah
Total anggaran belanja fiskal Jawa Timur tahun 2016 mencapai Rp148,30 triliun, meliputi belanja APBD Provinsi Jawa Timur sebesar Rp24,75 triliun (pangsa 16,69%), belanja APBD kabupaten/kota di Jawa Timur sebesar Rp83,78 triliun (pangsa 56,49%) dan belanja APBN sebesar Rp39,77 triliun (pangsa 26,82%). 

Realisasi pendapatan APBD Provinsi Jawa Timur sampai dengan triwulan II 2016 mencapai 26,29%, sedikit lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 26,39%. Pencapaian realisasi pendapatan APBD tersebut didominasi oleh realisasi penerimaan pajak daerah dan pendapatan transfer yang masingmasing terealisasi sebesar 27,82% dan 23,76%. Sementara itu, realisasi pendapatan APBD Kabupaten/Kota sebesar 46,69% sejalan dengan tingginya realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan transfer yang masing-masing mencapai 49,27% dan 46,22%.



Pada periode triwulan III 2015, PAD dan pendapatan transfer mengalami realisasi yang lebih rendah dibandingkan historisnya. Dari tiga komponen pendapatan, PAD memiliki pencapaian realisasi tertinggi yaitu 27,4%. Sementara pendapatan transfer hanya terealisasi 23,3%, dan lain-lain pendapatan yang sah hanya 20,9%.


Anggaran pengeluaran Pemerintah Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi anggaran belanja dan anggaran transfer. Total anggaran keduanya di tahun 2015 sebesar Rp24,36 triliun, meningkat 18,5% dari tahun 2014. Anggaran belanja meningkat 19,1% dan anggaran transfer meningkat 17,6%.  Berdasarkan komponennya, peningkatan tertinggi pada anggaran belanja dialami oleh belanja modal, yakni sebesar 67,58%, disusul Belanja Operasi sebesar 14,5%. Sementara itu komponen Belanja Tak Terduga turun cukup besar hingga 58,2%. Hal ini mencerminkan meningkatnya kinerja perencanaan dan penganggaran pengeluaran Pemerintah Provinsi Jawa Timur di tahun anggaran 2015.



Secara kumulatif sampai dengan triwulan III 2015, anggaran belanja dan transfer Pemerintah Provinsi Jawa Timur terealisasi sebesar Rp14,45 triliun atau 59,3% dari anggaran. Pencapaian ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2014, yang tercatat 53,2%. Total belanja terealisasi sebesar 56,5% dan transfer sebesar 64,8%. Pencapaian ini relatif baik, dan sejalan dengan akselerasi pertumbuhan konsumsi pemerintah dari 6,0% di triwulan II 2015 menjadi 9,0% pada triwulan ini. Pada kelompok belanja, realisasi tertinggi dicapai oleh Belanja Operasi yang mencapai 60,5% dan yang terendah adalah belanja modal dengan realisasi 34,1%. Dari komponen transfer, bantuan keuangan ke pemerintah daerah lainnya terealisasi 75,5%, dan bagi hasil pendapatan ke kabupaten/kota terealisasi 58,0%. Realisasi keduanya melebihi pencapaian di periode yang sama pada tahun sebelumnya.


Dari komponen belanja operasi, belanja bunga memiliki realisasi tertinggi, yakni sebesar 76,9%. Komponen terbesar belanja operasi yaitu belanja hibah, terealisasi sebesar 63,1%. Realisasi belanja modal secara kumulatif di triwulan III 2015 mencapai 34,1%, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama di tahun 2014, yang hanya mencapai 22,1%. Berdasarkan komponennya, realisasi tertinggi terjadi pada belanja aset tetap lainnya yakni 55,1%. Komponen belanja jalan, irigasi dan jaringan terealisasi cukup baik, yaitu 42,2%.

Anggaran dan Realisasi Pendapatan APBD Kabupaten/Kota. Total anggaran pendapatan yang dialokasikan oleh 38 kabupaten/kota di Jawa Timur mencapai Rp74,58 triliun. Total nilai anggaran pendapatan ini cukup jauh lebih besar dibanding anggaran pendapatan APBD Provinsi dan APBN yang dialokasikan untuk Jawa Timur. Anggaran pendapatan terbesar dimiliki oleh Pemerintah Kota Surabaya dengan nilai Rp6,5 triliun, sementara yang terkecil adalah Pemerintah Kota Mojokerto dengan nilai Rp731 miliar.

Pendapatan Transfer merupakan komponen pendapatan yang mendapat alokasi anggaran terbesar, yakni Rp58,9 triliun. Besarnya dana transfer ini menandakan ketergantungan fiskal pemerintah kabupaten/kota masih cukup tinggi terhadap Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Secara keseluruhan, derajat desentralisasi fiskal untuk pemerintah kabupaten/kota di Jawa Timur hanya sebesar 16,9%. Derajat desentralisasi fiskal tertinggi diraih oleh Kota Surabaya dengan rasio mencapai 54,0% dan terendah di Kabupaten Bangkalan sebesar 6,9%.



Secara kumulatif di triwulan III 2015, realisasi pendapatan APBD Kabupaten/Kota mencapai 79,2%. Terdapat lonjakan realisasi yang cukup signifikan dibandingkan semester I 2015, terutama pada komponen pendapatan asli daerah yang mencapai 81,9% (semester I : 50,4%) dan pendapatan transfer yang mencapai 79,9% (semester I : 50,50%) sampai dengan triwulan ini. Sementara itu, realisasi komponen lain-lain pendapatan yang sah relatif sudah tinggi di semester I 2015, sehingga tidak terdapat lonjakan realisasi yang signifikan di triwulan III. Tingginya realisasi PAD didorong oleh pendapatan retribusi dan lain  lain PAD yang sah. Komponen pendapatan pajak daerah masih terealisasi cukup rendah di tengah kondisi perekonomian yang masih lemah, hanya 59,7% secara kumulatif triwulan III 2015.  Secara kumulatif di triwulan III 2015, kabupaten/kota dengan realisasi pendapatan tertinggi adalah Kabupaten Tulungagung, dengan realisasi sebesar 101,3%. Hampir semua komponen anggaran pendapatan Kabupaten Tulungagung pada triwulan ini terealisasi di atas 100%, dengan realisasi tertinggi pada komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sudah terealisasi 120,1%. Komponen terbesar PAD tersebut adalah berupa Lain  lain (67% dari PAD) bahkan sudah terealisasi sebesar 125,7%. Sementara itu, Kabupaten Pacitan merupakan wilayah dengan realisasi pendapatan terendah secara kumulatif triwulan III 2015 yaitu hanya mencapai 45% dari total anggaran. Pendapatan asli daerah Pacitan sebenarnya sudah terealisasi sebesar 91,4%. Namun demikian, anggaran pendapatan transfer  dengan nominal anggaran mencapai 92% dari total anggaran pendapatan hanya terealisasi 40,0%.

Sampai dengan triwulan II 2016, realisasi anggaran belanja APBD Provinsi Jawa Timur mencapai 21,35%, dengan realisasi terbesar pada belanja operasi (22,22%). Anggaran belanja APBD kabupaten/kota terealisasi sebesar 33,90%, sedangkan belanja APBN terealisasi sebesar 38,56%. Kota Blitar menjadi Kapupaten/ Kota dengan realisasi belanja terbesar di triwulan ini, yaitu 42,05%, sedangkan realisasi terendah terjadi di Kota Mojokerto yaitu sebesar 7,59%.  

4.      Stabilitas Keuangan Daerah dan Pengembangan UMKM
Aset perbankan tercatat sebesar Rp549,12 triliun atau tumbuh 7,13% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya (8,64%, yoy). Meskipun demikian, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) dan penyaluran kredit mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibanding triwulan I 2016. Kredit berdasarkan lokasi bank meningkat sebesar 8,06% (yoy) di triwulan ini, lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya ( (7,40%, yoy), sedangkan DPK meningkat sebesar 8,72% (yoy), dari 8,42%, yoy). Laju pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dari pertumbuhan DPK mendorong peningkatan LDR dari 86,44% menjadi 88,20% atau masih memberikan ruang likuiditas yang memadai bagi perbankan untuk melakukan ekspansi. Sementara itu, risiko kredit atau Non Performing Loan (NPL) relatif stabil di level 2,32%. Adapun penyaluran kredit berdasarkan lokasi proyek juga menunjukkan peningkatan sebesar 8,12% (yoy) dari 7,54% (yoy), dengan NPL yang meningkat namun masih di bawah threshold yaitu dari 2,37% menjadi 2,50%. 

Sejalan dengan peningkatan kredit pada triwulan II 2016, kredit korporasi turut meningkat menjadi 7,82% (yoy) dari 7,01% (yoy) di triwulan sebelumnya. Peningkatan kredit korporasi ini terutama didorong oleh peningkatan penyaluran kredit kepada sektor transportasi dan sektor perdagangan. Namun demikian, kredit ke sektor utama Jawa Timur yakni sektor industri pengolahan masih terus melambat. Ditengah peningkatan kredit korporasi, kualitas kredit justru turun tercermin melalui peningkatan rasio NPL dari 2,19% menjadi 2,31%, dengan NPL tertinggi terjadi pada sektor konstruksi meskipun turun dibanding triwulan sebelumnya (dari 7,19% menjadi 6,38%). Kinerja kredit sektor rumah tangga (RT) pada triwulan II 2016 melambat dari 10,12% (yoy) menjadi 9,77% (yoy) terutama didorong oleh perlambatan kredit pemilikan komputer dan alat komunikasi, kredit pemilikan furniture dan peralatan RT, kredit kendaraan bermotor-KKB serta kredit pemilikan rumah-KPR. Di tengah perlambatan penyaluran kredit RT tersebut, rasio NPL RT masih terjaga di bawah 5% dan stabil dibanding triwulan I 2016 yaitu di level 1,23%.

5.      Penyelenggaraan Sistem Pembayaran  
Nominal transaksi tunai Jawa Timur triwulan II 2016 turut meningkat dari 3,11% (qtq) menjadi 45,20% (qtq), sejalan dengan peningkatan konsumsi masyarakat menghadapi momen lebaran dan libur sekolah. Secara spasial, peningkatan nominal transaksi tunai terjadi pada seluruh wilayah kerja Bank Indonesia khususnya Kota Kediri, yakni dari -3,37% (qtq) menjadi 70,04% (qtq). Sementara itu, netoutflow juga terjadi pada seluruh wilayah kerja dengan rasio outflow terhadap inflow yang paling tinggi terjadi pada Kota Kediri (278,13%), sedangkan rasio outflow terhadap inflow terendah terjadi di Kota Jember (143,10%).

Peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat triwulan II 2016 tidak diiringi dengan peningkatan nominal dan volume transaksi Sistem Kliring nasional Bank Indonesia (SKNBI). Transaksi SKNBI mengalami penurunan baik secara nominal (0,79%, qtq) maupun volume (0,16%, qtq ). Begitu pula jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, kinerja kliring menurun cukup signifikan. Nominal kliring mengalami penurunan sebesar 7,97% (yoy), sementara volume kliring turun sebesar 8,35% (yoy). Secara spasial, Kota Surabaya memiliki transaksi kliring terbesar di Jawa Timur dengan share nominal dan volume kliring mencapai 79%.  

6.      Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Masyarakat
Sesuai release data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur, periode data bulan Februari 2016, ketenagakerjaan di Jawa Timur sedikit membaik jika dibandingkan periode sebelumnya (Agustus 2015). Perbaikan kondisi tersebut tercermin pada beberapa angka yang menjadi indikatornya, diantaranya peningkatan jumlah angkatan kerja sebesar 1,10% dari 20,3 juta orang menjadi 20,5 juta orang. Peningkatan jumlah angkatan kerja tersebut diikuti dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 1,45% (dari 19,4 juta orang yang bekerja menjadi 19,6 juta orang). Perbaikan angka penyerapan tenaga kerja diikuti pula dengan penurunan angka pengangguran terbuka (TPT) sebesar 0,33 poin persen dari 4,47% menjadi 4,14%.

Pada triwulan II 2016, indikator kesejahteraan masyarakat pedesaan baik NTP maupun NTN di Jawa Timur masing-masing mengalami peningkatan. NTP meningkat sebesar 0,8% dari 103,77 di triwulan I 2016 menjadi 104,59, sedangkan NTN meningkat sebesar 4,7%, dari 107,61 menjadi 112,68. Peningkatan NTP dan NTN tersebut didorong oleh peningkatan NTP dan NTN di hampir semua subsektor, didorong peningkatan penerimaan karena faktor Ramadhan dan Lebaran.

Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur periode data Maret 2016 ( release BPS Jawa Timur) sebesar 4,7 juta orang, turun 1,79% dibandingkan tahun 2015 yang berjumlah 4,8 juta orang. Selain jumlah penduduk miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) juga menurun masingmasing sebesar 0,08 poin dan 0,05 poin. Penurunan kedua indeks tersebut mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin juga semakin menyempit

7.      Prospek Ekonomi dan Inflasi triwulan II 2016
Perekonomian Jawa Timur pada triwulan II 2016 diperkirakan terakselerasi dibandingkan triwulan I 2016, yaitu tumbuh di kisaran 5,4%-5,8% (yoy). Dari sisi permintaan, peningkatan pertumbuhan konsumsi swasta seiring peningkatan consumercon fidence beserta masih tingginya kinerja investasi diperkirakan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. Tingginya kinerja investasi ini didasari oleh dimulainya realisasi proyek infrastruktur pemerintah pada pertengahan tahun sebagai dampak adanya lelang dini yang dilakukan di akhir tahun 2015. Sementara itu dari sisi penawaran, peningkatan kinerja sektor pertanian, industri pengolahan, dan konstruksi diperkirakan menjadi pendorong akselerasi perekonomian Jawa Timur di triwulan II 2016. 

Mencermati perkembangan inflasi terkini dan tracking beberapa indikator harga, inflasi Jawa Timur pada triwulan II 2016 diperkirakan secara tahunan (yoy) berada di kisaran 3,0% - 3,4%. Tekanan inflasi volatile food bersumber dari potensi kenaikan harga pangan akibat peningkatan permintaan musiman pada periode puasa dan Lebaran. Sementara, faktor penahan inflasi bersumber dari panen raya padi yang berlangsung pada April-Mei. Tekanan inflasi pada kelompok administered prices diperkirakan relatif stabil. Tekanan inflasi masih bersumber dari penyesuaian tarif rokok sebagai respon atas kenaikan tarif cukai sebesar 11,69% di awal 2016. Inflasi kelompok inti pada triwulan II 2016 diperkirakan meningkat, namun pada tingkat yang moderat. Tekanan inflasi bersumber dari kenaikan harga gula pasir seiring menurunnya produktivitas akibat faktor cuaca dan meningkatnya ekspektasi serta permintaan masyarakat menjelang Ramadhan dan Lebaran.

8.      Prospek Ekonomi dan Inflasi Tahun 2016
Di sepanjang tahun 2016, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur akan mencapai 5,5%-5,9% (yoy). Level pertumbuhan tersebut cenderung meningkat dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 5,44% (yoy). Dari sisi permintaan, perbaikan ekonomi Jawa Timur di tahun 2016 diperkirakan didorong oleh realisasi investasi bangunan yang meningkat, seiring adanya komitmen pemerintah daerah maupun pusat untuk terus mendorong pembangunan infrastruktur pendukung transportasi, seperti pelabuhan, kereta api, serta angkutan darat dan udara. Di sisi penawaran, kinerja sektor utama menunjukkan peningkatan yang relatif signifikan. Di sektor pertanian, El Nino cukup berdampak terhadap kinerja sektor pertanian di triwulan I 2016. Walaupun demikian, pola tanam dan pola panen sudah berjalan sesuai dengan pola di tahun 2015, sehingga diharapkan tidak mengganggu pertumbuhan di sektor ini secara keseluruhan tahun. Perbaikan consumer confidence dibandingkan tahun 2015 diharapkan juga dapat mendorong akselerasi produksi di sektor industri pengolahan. Sementara itu, kinerja sektor perdagangan diharapkan dapat terdorong oleh subsektor perdagangan besar akibat membaiknya permintaan mitra dagang utama internasional Jawa Timur.

Tekanan inflasi Jawa Timur di tahun 2016 diperkirakan sesuai dengan sasaran inflasi nasional yaitu di kisaran 4% + 1%. Pendorong utama inflasi adalah penyesuaian pada berbagai tarif administered . Dari kelompok administered prices , tekanan inflasi diperkirakan akan meningkat seiring berbagai kebijakan penyesuaian kebijakan administered prices pemerintah, antara lain seperti penyesuaian tarif listrik golongan rumah tangga 1.300 VA dan 2.200 VA sesuai harga keekonomiannya yang telah terjadi di triwulan I 2016 dan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 11,69% pada awal tahun. Dari kelompok volatile food , gangguan cuaca  El Nino yang berdampak pada  mundurnya panen raya padi di triwulan I 2016,  kemungkinan musim hujan yang berakhir lebih cepat, serta musim kemarau di tahun 2016 lebih panjang dari pola normalnya, berpotensi mengganggu produksi pertanian pangan Jawa Timur di tahun 2016 dan meningkatkan inflasi volatile food . Dari sisi permintaan domestik ( core inflation ), tekanan inflasi tahun 2016 diperkirakan meningkat pada level yang moderat.



TABEL INDIKATOR EKONOMI





DAFTAR ISTILAH

Administered price
Harga barang yang diatur oleh pemerintah, misalnya harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik.

APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Rencana keuangan tahunan  pemerintah daerah yang dibahas dan setujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

BI Rate
Suku bunga referensi kebijakan moneter dan ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur setiap bulannya.

BI - RTGS Bank Indonesia
Real Time Gross Settlement , yang merupakan suatu penyelesaian kewajiban bayar-membayar ( settlement) yang dilakukan secara on - line atau seketika untuk setiap instruksi transfer dana.

Bobot inflasi
Besaran yang menunjukkan pengaruh suatu komoditas terhadap tingkat inflasi secara keseluruhan yang diperhitungkan dengan melihat tingkat konsumsi masyarakat terhadap komoditas tersebut.

Dana Pihak Ketiga (DPK)
Simpanan pihak ketiga bukan bank yang terdiri dari giro, tabungan dan simpanan berjangka (deposito). 

Ekspor dan Impor
Dalam konteks PDRB adalah mencakup perdagangan barang dan jasa antar negara dan antar provinsi.

Financing to Deposit Ratio (FDR) a t au Loan to Deposit Ratio (LDR)
Rasio pembiayaan atau kredit terhadap dana pihak ketiga yang diterima oleh bank, baik dalam rupiah dan valas. Terminologi FDR unuk bank syariah, sedangkan LDR untuk bank konvensional.

Imported inflation
Salah satu disagregasi inflasi, yaitu inflasi yang berasal dari pengaruh perkembangan harga di luar negeri (eksternal).

Indeks Ekspektasi Konsumen
Salah satu pembentuk IKK, indeks yang menunjukkan level keyakinan konsumen terhadap ekspektasi kondisi ekonomi 6 bulan mendatang dengan skala 1  100.

Indeks Kondisi Ekonomi
Salah satu pembentuk IKK, indeks yang menunjukkan level keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi saa ini dengan skala 1  100.

Indeks Keyakinan Konsumen
Indeks yang menunjukkan level keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan ekspektasi kondisi ekonomi enam bulan mendatang dengan skala 1  100.

Inflasi IHK
Kenaikan harga barang dan jasa dalam satu periode yang diukur dengan perubahan indeks harga konsumen (IHK), yang mencerminkan perubahan harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat luas.

Inflasi Inti Inflasi
IHK setelah mengeluarkan komponen volatile foods dan administered prices.

Inflow
Uang yang diedarkan aliran masuk uang kartal ke Bank Indonesia.

Investasi
Kegiatan meningkatkan nilai tambah suatu kegiatan produksi

Kredit Penyediaan uang atau tagihan yang sejenis,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertenttu dengan pemberian bunga, termasuk  Pembelian surat berharga nasabah yang dilengkapi dengan note purchase agreement
 (NPA)  Pengambilan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang.

Loan to Deposit Ratio (LDR) atau Financing to Deposit Ratio (FDR)
Rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga yang diterima oleh bank. Terminologi FDR untuk bank syariah, sedangkan LDR untuk bank konvensional.

Loan to Funding Ratio (LFR)
Rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga dan surat berharga yang diterbitkan bank. 

Liaison
Kegiatan pengumpulan data/statistik dan informasi yang bersifat kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan secara periodik melalui wawancara langsung kepada pelaku ekonomi mengenai perkembangan dan arah kegiatan ekonomi dengan cara yang sistematis dan didokumentasikan dalam bentuk laporan.

mtm
Month to month. Perbandingan antara data satu bulan dengan bulan sebelumnya

Net Inflow
Uang yang diedarkan inflow lebih besar dari outflow.

Non Performing Financing (NPF) atau Non Performing Loan (NPL)
Rasio pembiayaan atau kredit macet terhadap total penyaluran pembiayaan atau kredit oleh bank, baik dalam rupiah dan valas, Terminologi NPF dan pembiayaan untuk bank syariah, sedangkan NPL dan kredit untuk bank konvensional.Kriteria NPF atau NPL adalah (1) kurang lancar, (2) diragukan dan (3) macet.

Omset
Nilai penjualan bruto yang diperoleh dari satu kali proses produksi

Outflow
Aliran keluar uang kartal dari Bank Indonesia.

Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi suatu daerah seperti hasil pajak daerah, restribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah.

qtq Quarter to quarter .
Perbandingan antara data satu triwulan dengan triwulan sebelumnya.

Real Time Gross Settlement (RTGS)
Sistem transfer dana elektronik yang penyelesaian setiap transaksinya dilakukan dalam waktu seketika.

Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
Sistem pertukaran data keuangan elektronik dan/atau warkat antar peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.

Volatile Food
Salah satu disagregasi inflasi, yaitu untuk komoditas yang perkembangan harganya sangat bergejolak karena faktor-faktor tertentu.

yoy Year on year .
Perbandingan antara data satu tahun dengan tahun sebelumnya.



DAFTAR PUSTAKA

·         https://jatim.bps.go.id


·         https://bappeda.jatimprov.go.id/bappeda/wp-content/uploads/2015/09 diakses pada bulan September 2015




M3 OTONOMI DAERAH DAN INDUSTRIALISASI

INDUSTRIALIASI INDONESIA DAN
PEMBANGUNAN EKONOMI BESERTA OTONOMI DAERAH

DOSEN : ANTONI, SE., MM


Disusun Oleh:
Kelas : 1EB17
Kelompok 6

1.   Nurul Utami                          25216639
2.   Ratih Rahmawati                 26216098
3.   Rifa Hana Zaimah                26216366
4.   Reza Adliansyah                 26216248
5.   Riyan Setiawan                    26216525


PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2017/2018

Pendahuluan


1.    Industrialisasi di Indonesia
Industrialisasi adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi yang mengubah sistem pencaharian masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Industrialisasi juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan di mana masyarakat berfokus pada ekonomi yang meliputi pekerjaan yang semakin beragam (spesialisasi), gaji, dan penghasilan yang semakin tinggi. Industrialisasi adalah bagian dari proses modernisasi di mana perubahan sosial dan perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasi teknologi.
Dalam Industrialisasi ada perubahan filosofi manusia di mana manusia mengubah pandangan lingkungan sosialnya menjadi lebih kepada rasionalitas (tindakan didasarkan atas pertimbangan, efisiensi, dan perhitungan, tidak lagi mengacu kepada moral, emosi, kebiasaan atau tradisi). Menurut para peniliti ada faktor yang menjadi acuan modernisasi industri dan pengembangan perusahaan. Mulai dari lingkungan politik dan hukum yang menguntungkan untuk dunia industri dan perdagangan, bisa juga dengan sumber daya alam yang beragam dan melimpah, dan juga sumber daya manusia yang cenderung rendah biaya, memiliki kemampuan dan bisa beradaptasi dengan pekerjaannya.
1.1.      Konsep & Tujuan Industrialisasi
Awal konsep industrialisasi revolusi industry abad 18 di Inggris adalah dalam pemintaan dan produksi kapas yang menciptakan spesialisasi produksi. Selanjutnya penemuan baru pada pengolahan besi dan mesin uap sehingga mendorong inovasi baja, dan begitu seterusnya. Inovasi-inovasi baru terus bermunculan. Industri merupakan salah satu strategi jangka panjang untuk menjamin pertumbuhan ekonomi.
Menurut klasifikasi Jean Fourastie, sebuah ekonomi terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama terdiri dari produksi komoditas (pertanian, peternakan, ekploitasi sumber daya mineral). Bagian kedua proses produksi barang untuk dijual dan bagian ketiga sebagai industri layanan. Proses Industrialisasi didasarkan pada perluasan bagian kedua yang kegiatan ekonominya didominasi oleh kegiatan bagian pertama.
Revolusi Industri pertama terjadi pada pertengahan abad ke 18 sampai awal abad ke 19 di daerah Eropa Barat, Amerika Utara, dimulai pertama kali di Inggris. Revolusi Industri kedua terjadi pada pertengahan abad ke 19 setelah penemuan mesin uap, listrik, mesin pembakaran dalam (tenaga fosil) dan pembangunan kanal kanal, rel kereta api sampai ke tiang listrik.
Tujuan industrialisasi itu sendiri adalah untuk memajukan sumber daya alam yang dimiliki oleh setiap Negara. Didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas dengan industrialisasi ini. Maka negara berkembang yang mampu memanfaatkannya dengan baik, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Tujuan pembangunan industri nasional baik jangka menengah maupun jangka panjang ditujukan untuk mengatasipermasalahan dan kelemahan baik di sektor industri maupun untuk mengatasi permasalahan secara nasional, yaitu:
a.    Meningkatkan penyerapan tenaga kerja industri.
b.    Meningkatkan ekspor Indonesia dan pember-dayaan pasar dalam negeri.
c.    Memberikan sumbangan pertumbuhan yang berarti bagi perekonomian.
d.    Mendukung perkembangan sector infrastruktur.
e.    Meningkatkan kemampuan teknologi.
f.     Meningkatkan pendalaman struktur industri dan diversifikasi produk.
g.    Meningkatkan penyebaran industri.

1.2.      Faktor-Faktor Pendorong Industrialisasi
Faktor-faktor pendorong industrialisasi itu sendiri adalah sebagai berikut.
a.    Kemampuan teknologi dan inovasi.
b.    Laju pertumbuhan pendapatan nasional per kapita.
c.    Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. Suatu Negara yang pada awal pembangunan ekonomi atau industrialisasinya sudah memiliki industri-industri primer atau hulu seperti besi dan baja, semen, petrokimia, dan industri-industri tengah (Antara hulu dan hilir), seperti industri barang modal (mesin) dan alat-alat produksi yang relatif kuatakan mengalami proses industrialisasi yang lebih pesat dibandingkan Negara yang hanya memiliki industri-industri hilir atau ringan.
d.    Besarnya Pasar dalam Negeri yang Ditentukan Oleh Kombinasi Antara Jumlah Populasi dan Tingkat PN Riil Per Kapita. Pasar dalam negeri yang besar, seperti Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang merupakan salah satu faktor perangsang bagi pertumbuhan kegiatan-kegaiatan ekonomi, termasuk industri, karena pasar yang besar menjamin adanya skala ekonomis dan efisiensi dalam proses produksi(dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lainnya mendukung). Jika pasar domestic kecil, maka ekspor merupakan alternatif satu” nya untuk mencapai produksi optimal.
e.    Ciri industrialisasi yaitu cara pelaksanaan industrialisasi seperti tahap implementasi, jenis industri yang diunggulkan, pola pembangunan sektor industri, dan insentif yang diberikan, termasuk insentif kepada investor.
f.     Keberadaan SDA (sumber daya alam). Ada kecenderungan bahwa Negara-negara yang kaya SDA, tingkat diversifikasi dan laju pertumbuhan ekonominya relatif lebih rendah, dan Negara tersebut cenderung tidak atau terlembat melakukan industrialisasi atau prosesnya berjalan relatif lebih lambat dibandingkan Negara-negara yang miskin SDA.
g.    Kebijakan atau strategi pemerintah.

Secara garis besar, berikut adalah faktor pembangkit industrialisasi di Indonesia.
a.    Struktur Organisasi; dilakukan inovasi dalam jaringan institusi pemerintah dan swasta yang melakukan impor. Sebagai pihak yang membawa,mengubah, mengembangkan dan menyebarluaskan teknologi.
b.    Ideologi; perlu sikap dalam menentukan pilihan untuk mengembangkan suatu teknologi apakah menganut tecno-nasionalism,techno-globalism, atau techno-hybrids.
c.    Kepemimpinan; pemimpin dan elit politik Indonesia harus tegas dan cermat dalam mengambil keputusan. Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan pasar dalam negeri maupun luar negeri

1.3.      Perkembangan Sektor Industri Manufaktur Indonesia
Sector industry manufaktur di banyak Negara berkembang mengalami perkembangan sangat pesat dalam tiga decade terakhir. Asia Timur dan Asia Tenggara dapat dikatakan sebagai kasus istimewa. Lebih dari 25 tahun terakhir, dijuluki a miraculous economic karena kinerja ekonominya sangat hebat.
Untuk memberdayakan ekonomi rakyat, pemerintah dapat mengarahkan langkah strategis di bidang perindustrian dengan mengembangkan industri-industri rakyat yang terkait dengan industry besar. Industri-industri kecil dan menengah yang kuat menjadi tulang punggung industry nasional. Dalam realisasinya, proses industrialilasinya harus mengarah ke daerah pedesaan dengan memanfaatkan potensi setempat yang umumnya agro industri. Di sinilah perlunya, penguasaan teknologi tepat guna
Namun dalam proses ini harus dihindari penggusuran ekonomi rakyat dengan perluasan industry berskala besar yang mengambil lahan-lahan subur, merusak lingkungan, menguras sumber daya alam dan mendatangkan tenaga kerja dari luar.
Bangkitnya konsep ekonomi kerakyatan memang menuntut ketersediaan teknologi tepat guna yang sifatnya sederhana, handal, dan tidak capital intensif. Teknologi ini diharapkan mampu memberdayakan banyak usaha/industri kecil dan menengah serta koperasi untuk ikut ambil bagian dalam proses ekonomi produktif. Sebagai perbandingan, di RRC dan India, teknologi tepat guna secara ekstensif digunakan untuk mengolah hasil-hasil pertanian. Di Indonesia juga membutuhkan pemanfaatan serupa. Produk-produk agrobisnis; pertanian dan perkebunan diyakini membutuhkan teknologi tepat guna agar dapat diproses oleh usaha/industry kecil dan menengah.
Ada dua manfaat sekaligus yang dapat dipetik dalam pengembangan teknologi tepat guna. Pertama, industri teknologi tepat guna tumbuh, masyarakat menguasai seni membuat produk teknologi tepat guna. Budaya teknologi, pada gilirannya, tumbuh dan melekat pada sebagian masyarakat. Ini penting guna menjadi pijakan saat bangsa tersebut ingin melangkah menjadi bangsa yang berteknologi canggih. Kedua, kecakapan membuat teknologi tepat guna menghasilkan penguasaan proses produksi selain produk yang unggul dikelasnya. Selain bisa memenuhi kebutuhan sendiri, produk ini laku sebagai komoditas ekspor.
Sector industry diyakini sebagai sector yang dapat memimpin sector-sektor lain dalam sebuah perekonomian menuju kemajuan. Produk-produk industrial selalu memiliki “dasar tukar” (terms of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan produk-produk sector lain. Hal ini disebabkan karena sector industry memiliki variasi produk yang sangat beragam dan mampu memberikan manfaat marjinal yang tinggi kepada pemakainya. Pelaku bisnis (produsen, penyalur, pedagang, dan investor) lebih suka berkecimpung dalam bidang industry karena sector ini memberikan marjin keuntungan yang lebih menarik. Berusaha dalam bidang industry dan berniaga hasil-hasil industry juga lebih diminati karena proses produksi serta penanganan produknya lebih bisa dikendalikan oleh manusia, tidak terlalu bergantung pada alam semisal musim atau keadaan cuaca.
1.4.      Permasalahan Industrialisasi
Kendala bagi pertumbuhan industri di dalam negeri adalah ketergantungan terhadap bahan baku serta komponen impor. Mesin-mesin produksi yang sudah tua juga menjadi hambatan bagi peningkatan produktivitas dan efisiensi.
Permasalahan-permasalahan tersebut telah menurunkan daya saing industri dalam negeri. Kementerian Perindustrian telah mengidentifikasinya. Responsnya adalah dibuat Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri.
Namun, fakta di lapangan jauh dari harapan. Regulasi pemerintah pusat tak seiring dengan regulasi pemerintah daerah. Bahkan, di antara kementerian teknis bukan kebijakan sendiri-sendiri. Tahun 2010-2014, Kementerian Perindustrian menargetkan pertumbuhan industri nonmigas 8,95% dan kontribusi industri pengolahan terhadap produk domestik bruto 24,67%. Ditargetkan total investasi 2010-2014 mencapai Rp 735,9 triliun
Untuk mencapai target itu, Kementerian Perindustrian membuat kerangka pembangunan industri nasional. Kerangka itu yang akan menjadi acuan untuk membangkitkan industri agar siap menghadapi perdagangan bebas dan ASEAN Economic Community.
Agar siap menghadapi itu semua, menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit, peningkatan daya saing menjadi kunci utama. Leadership, mulai dari presiden hingga pejabat pemerintah lainnya, yang mau mengenakan produk dalam negeri juga tidak boleh diabaikan
1.5.      Strategi Pembangunan Sektor Industri
Persaingan internasional merupakan suatu perspektif baru bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga fokus dari strategi pembangunan industri di masa depan adalah membangun daya saing industri manufaktur yang berkelanjutan di pasar internasional. Untuk itu, strategi pembangunan industri manufaktur ke depan dengan memperhatikan kecenderungan pemikiran terbaru yang berkembang saat ini, adalah melalui pendekatan klaster dalam rangka membangun daya saing industri yang kolektif.
Industri manufaktur masa depan adalah industri-industri yang mempunyai daya saing tinggi, yang didasarkan tidak hanya kepada besarnya potensi Indonesia (comparative advantage), seperti luas bentang wilayah, besarnya jumlah penduduk serta ketersediaan sumber daya alam, tetapi juga berdasarkan kemampuan atau daya kreasi dan keterampilan serta profesionalisme sumber daya manusia Indonesia (competitive advantage).
Bangun susun sektor industri yang diharapkan harus mampu menjadi motor penggerak utama perekonomian nasional dan menjadi tulang punggung ketahanan perekonomian nasional di masa yang akan datang. Sektor industri prioritas tersebut dipilih berdasarkan keterkaitan dan kedalaman struktur yang kuat serta memiliki daya saing yang berkelanjutan serta tangguh di pasar internasional.
Pembangunan industri tersebut diarahkan pada penguatan daya saing, pendalaman rantai pengolahan di dalam negeri serta dengan mendorong tumbuhnya pola jejaring (networking) industri dalam format klaster yang sesuai baik pada kelompok industri prioritas masa depan, yaitu: industri agro, industri alat angkut, industri telematika, maupun penguatan basis industri manufaktur, serta industri kecil-menengah tertentu.
Dengan memperhatikan permasalahan yang bersifat nasional baik di tingkat pusat maupun daerah dalam rangka peningkatan daya saing, maka pembangunan industri nasional yang sinergi dengan pembangunan daerah diarahkan melalui dua pendekatan, yakni:
a.    Pendekatan top-down, yaitu pembangunan industri yang direncanakan (by design) dengan memperhatikan prioritas yang ditentukan secara nasional dan diikuti oleh partisipasi daerah.
b.    Pendekatan bottom-up, yaitu melalui penetapan kompetensi inti yang merupakan keunggulan daerah sehingga memiliki daya saing. Dalam pendekatan ini Departemen Perindustrian akan berpartisipasi secara aktif dalam membangun dan mengembangkan kompetensi inti daerah tersebut. Hal ini sekaligus merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, yang pada gilirannya dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran.
Strategi industrialisasi
1)      Strategi Subtitusi Impor
·         Lebih menekankan pada pengembangan industry yang berorientasi pada pasar domestic
·         Strategi subtitusi impor adalah industry domestic yang membuat barang menggantikan impor
·         Dilandasi oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan mengembangkan industry dalam negeri yang memproduksi barang pengganti impor

Pertimbangan yang lajim digunakan dalam memilih strategi ini adalah:
a.    SDA dan factor produksi lain (terutama tenaga kerja) cukup tersedia
b.    Potensi permintaan dalam negeri memadai
c.    Pendorong perkembangan sector industry manufaktur dalam negeri
d.    Dengan perkembangan industry dalam negeri, kesempatan kerja lebih luas
e.    Dapat mengurangi ketergantungan impor

2)    Penerapan strategi subtitusi impor dan hasilnya di Indonesia
·         Industry manufaktur nasional tidak berkembang baik selama orde baru
·         Ekspor manufaktur Indonesia belum berkembang dengan baik
·         Kebijakan proteksi yang berlebihan selama orde baru menimbulkan high cost economy
·         Teknologi yang digunakan oleh industry dalam negeri, sangat diproteksi




3)    Strategi Promosi Ekspor
Ø  Lebih berorientasi ke pasar internasional dalam pengembangan usaha dalam negeri
Ø  Tidak ada diskriminasi dalam pemberian insentif dan fasilitas kemudahan lainnya dari pemerintah
Ø  Dilandasi pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai jika produk yang   dibuat di dalam negeri dijual di pasar ekspor
Ø  Strategi promosi ekspor mempromosikan fleksibilitas dalam pergeseran sumber daya ekonomi yang ada mengikuti perubahan pola keunggulan komparatif

4)    Kebijakan industrialisasi
ü  Dirombaknya system devisa sehingga transaksi luar negeri lebih bebas dan sederhana
ü  Dikuranginya fasilitas khusus yang hanya disediakan bagi perusahaan Negara dan       kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sector swasta bersama-sama dengan BUMN.

2.    Pembangunan Ekonomi Daerah & Otonomi Daerah
2.1.    Otonomi Daerah
Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1.    Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; 
2.    Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.

Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)dengan beberapa dasar pertimbangan :
1.    Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim
2.    Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif
3.    Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.

Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1.    Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah
2.    Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3.    Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju

Aturan Perundang-Undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
1.    Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah.
2.    Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
3.    Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
4.    Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
5.    Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
2.2.    Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin Arsyad, 1999).

Masalah pokok dalam pembangunan daerah berada pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang berdasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumber daya fisik secara lokal (daerah).

Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Untuk mencapai tujuan tesebut, pemerintah daerah dan masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah beserta daerah beserta partisipasi masyarakatnya dan dengan dengan menggunakan sumber daya yang ada harus memperkirakan potensi sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah. (Lincolin Arsyad, 1999).

Ada beberapa indikator untuk menganalisis derajat kesenjangan dalam pembangunan ekonomi antar provinsi, yaitu produk domestik regional bruto (PDRB) per provinsi dalam pembentukan PDB nasional, PDRB atau pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata per kapita, indeks pembangunan manusia (IPM), kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDRB, dan tingkat kemiskinan.

2.3.    Faktor-faktor Penyebab ketimpangan
Berikut beberapa faktor utama penyebab terjadinya ketimpangn pembangunan ekonomi dalam satu wilayah Negara :
·         Konsentrasi Kegiatan ekonomi, Ekonomi daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat ekonomi yang rendah cenderung mempunyai tingkat pembanguan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
·         Alokasi InvestasiIndikator lain juga yang menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN).
·         Mobilitas antar Faktor Produksi yang Rendah antar Daerah , Kehadiran buruh migran kelas bawah adalah pertanda semakin majunya suatu negara. Ini berlaku baik bagi migran legal dan ilegal. Ketika sebuah negara semakin sejahtera, lapisan-lapisan masyarakatnya naik ke posisi ekonomi lebih tinggi (teori Marxist: naik kelas). 
·         Perbedaan SDA antar Provinsi , Dasar pemikiran klasik mengatakan bahwa pembanguan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin SDA. Sebenarnya sampai dengan tingkat tertentu pendapat ini masih dapat dikatakan, dengan catatan SDA dianggap sebagai modal awal untuk pembangunan.

·         Perbedaan Kondisi Demografis antar ProvinsiKondisi demografis antar provinsi berbeda satu dengan lainnya, ada yang disominasi oleh sektor pertanian, ada yang didominiasi oleh sektor pariwisata, dan lain sebagainya. Perbedaan kondisi demografis ini biasanya menyebabkan pembangunan ekonomi tiap daerah berbeda-beda.

·         Kurang Lancarnya Perdagangan antar Provinsi , Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga menyebabkan ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Pada umumnya ketidaklancaran tersebut disebabkan karena keterbatasan transportasi dan komunikasi.

2.4.    Pembangunan Indonesia Bagian Timur
Pada masa pemerintahan orde baru, pembangunan di Indonesia bagian timur terlihat tidak seimbang dengan Indonesia bagian barat meskipun laju pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata per tahun terbilang tinggi. Tahun 2001 adalah tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah yang dilakukan serentak ke seluruh wilayah Indonesia. Harapan dari pelaksanaan ini adalah supaya dapat mendorong proses pembangunan di Indonesia bagian timur yang jauh lebih baik dibanding masa orde baru. Namun, tidak lah mudah dalam melakukan berbagai proses pembangunan. Pembangunan ini masih terlalu berat memfokuskan diri kepada investasi untuk menghasilkan ekonomi yang tinggi sebagai biaya, padahal harus lebih difokuskan pada usaha perbaikan dan pelaksanaanya yang pasti. Meski begitu, pemerintah tetap berusaha untuk menyeimbangkan proses pembangunan terutama untuk Indonesia bagian timur.

2.5.    Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
Ada sejumlah teori yang dapat menerangkan kenapa ada perbedaan dalam tingkat pembangunan ekonomi antardaerah diantaranya yang umum di gunakan adalah teori basis ekonomi,teori lokasi dan teori daya tarik industri.
1.    Teori pembangunan ekonomi daerah
a.    Teori basis ekonomi
Teori basis ekonomi menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah.
b.    Teori lokasi
Teori lokasi digunakan untuk penentuan atau pengembangan kawasan industri di suatu dareah. Inti pemikiran dari teori ini didasarkan pada sifat rasional pengusaha/perusahaan yang cenderung mencari keuntungan setinggi mungkin dengan biaya serendah mungkin oleh karena itu , pengusaha akan memilih lokasi usaha yang memaksimalkan keuntungannya dan meminimalisasikan biaya usaha atau produksinya, yakni lokasi yang dekat dengan tempat bahan baku dan pasar.
c.    Teori daya tarik industry
Dalam upaya pembangunan ekonomi daerah di Indonesia sering di pertanyakan. Jenis – jenis industri apa saja yang tepat untuk dikembangkan (diunggulkan) ? Ini adalah masalah membangun fortofolio industri suatu daerah.

2.    Model analisis pembangunan daerah
Beberapa metode yang umum digunakan untuk menganalisi posisi relative ekonomi suatu daerah;
a.    Analisis SS
Dengan pendekatan analisis ini ,dapat di analisis kinerja perekonomian suatu daerah dengan membandingkannya dengan daerah yang lebih besar ( nasional).
b.    Location Quotients (LQ)
Yaitu untuk mengukur konsentrasi dari suatu kegiatan ekonomi atau sector di suatu daerah dengan cara membandingkan peranannya adalah perekonomian daerah tersebut dengan peranan dari kegiatan ekonomi atau sektor yang sampai di tingkat yang sama.
c.    Angka Pengganda Pendapatan
Metode ini umum digunakan untuk mengukur potensi kenaikan pendapatan suatu daerah dari suatu kegiatan ekonomi yang baru atau peningkatan output dari suatu sektor di daerah tersebut.
d.    Analisis Input-Output (I-O)
Analisis I-O merupakan salah satu metode analisis yang sering digunakan untuk mengukur perekonomian suatu daerah dengan melihat keterkaitan antarsektor dalam usaha memahami kompleksitas perekonomian daerah tersebut, serta kondisi yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan antara AS dan AD.



DAFTAR PUSTAKA



 

Nurul Utami Template by Ipietoon Cute Blog Design